Serangan tikus di Perkebunan kelapa sawit mampu menimbulkan kerusakan yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat dan kerusakan pada buah. Penekanan populasi tikus dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti penggunaan perangkap, pengendalian biologi, pengendalian kimia maupun kombinasi keduanya.
Pada umumnya pengendalian tikus di perkebunan kelapa sawit di Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan rodentisida (pengendalian kimia), disamping tetap dilakukan pengembangan pengendalian secara biologi ataupun dengan metode perangkap.
Regulasi penggunaan bahan aktif pada rodentisida di Indonesia cukup ketat, jenis rodentisida yang diperbolehkan pada perkebunan kelapa sawit adalah jenis antikoagulan generasi pertama dan antikoagulan generasi kedua (SGAR). Regulasi terkait jenis rodentisida bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya keracunan atau kerusakan lingkungan. Salah satu bahan aktif yang dapat digunakan sebagai bahan rodentisida pada perkebunan kelapa sawit adalah bahan aktif Wafarin dan Kumatetralil.
Kumatetralil merupakan racun antikoagulan dan merupakan antagonis vitamin K yang merupakan senyawa hydroxycoumarin. Senyawa ini biasa digunakan sebagai rodentisida. Cara kerja kumatetralil yaitu dengan menghambat proses pembekuan darah dan sintesa protombin serta merusak permeabilitas kapiler darah, sehingga menyebabkan terjadinya pendarahan di dalam organ. Pada umumnya dosis yang diperlukan dari kumatetralil cenderung lebih banyak dan membutuhkan penelanan berulang untuk dapat menyebabkan kematian terhadap tikus.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lasmawan et al., (2019) menyatakan bahwa zat aktif kumatetralil yang dimakan tikus mengakibatkan efek seperti penurunan nafsu makan, gangguan gerak pada organ tubuh kaki, penurunan aktivitas gerak, perubahan kondisi fisik yang meliputi mata memerah dan berair setelah memakan racun sampai dengan terjadinya kematian. Gejala tersebut terjadi karena zat aktif ini bekerja secara perlahan dengan merusak sistem penggumpalan darah pada tikus dan menyebabkan internal bleeding sehingga akan berdampak pada kondisi dehidrasi yang sangat hebat, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan nafsu makan yang akan berdampak pada penurunan aktivitas gerak dan gangguan gerak pada organ tubuh.
Warfarin adalah salah satu bahan aktif yang sering terdapat pada rodentisida, dalam konsentrasi tinggi menyebabkan kematian akibat perdarahan internal pada tikus. Bahan aktif warfarin yang dimakan tikus secara mikroskopis mengakibatkan kerusakan organ hati. Hal ini disebabkan oleh karena efek dari warfarin mengakibatkan terhambatnya regenerasi Vitamin K, yang merupakan kofaktor penting dalam pembentukan pembuluh darah. Dalam hal ini warfarin sebagai antikogulan menghambat enzim yang berfungsi sebagai regenerator vitamin K.
Wafarin dan Kumatetralil merupakan rodentisida jenis antikoagulan yang bekerja dengan menghentikan proses pembekuan darah, yang menyebabkan pendarahan yang mematikan. Pengawasan dalam penggunaan rodentisida perlu diperhatikan karena rentan mengenai hewan non target seperti hewan peliharaan dan satwa liar nontarget. Dalam pengaplikasian rodentasida juga perlu memperhatikan rotasi pengaplikasian agar menghindari terjadinya resistensi pada hama tikus dan residu bahan kimia di alam,
Sulung Research Station menyediakan layanan konsultasi dan pendampingan agronomi, pengendalian hama penyakit terpadu, penyusunan rekomendasi pemupukan, hingga jasa laboratorium untuk dapat meningkatkan produktifitas perkebunan kelapa sawit untuk seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia.