Hand Polination : Membantu Penyebukan Tanaman Kelapa Sawit karena Keterbatasan Jumlah Bunga Jantan

Luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini semakin meningkat tercatat oleh Kementerian Pertanian tahun 2021 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 15,08 juta ha. Kondisi ini sejalan dengan kebutuhan dunia akan minyak nabati dan berbagai produk olahannya mengalami peningkatan. Produk minyak sawit merupakan komponen penting dalam perdagangan minyak nabati dunia. Oleh karena itu, perlunya para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit untuk terus meningkatkan produksi setiap tahunnya.

Produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sangat ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor bahan tanam, nutrisi, iklim, lingkungan, hama dan penyakit, penyerbukan, dan faktor-faktor lainnya. Tanaman kelapa sawit menghasilkan buah sebagai komoditi ekonomi utamanya, tentunya menjadikan faktor penyerbukan atau polinasi bunga kelapa sawit sebagai bentuk keberhasilan untuk mencapai nilai produksi yang tinggi

Penyerbukan umumnya terjadi jika serbuk sari dari bunga jantan jatuh di kepala putik bunga betina. Namun, penyerbukan tanaman kelapa sawit terjadi secara menyilang karena tanaman kelapa sawit memiliki bunga jantan dan bunga betina dalam satu tanaman yang dipisahkan oleh tandan buah. Selain itu, waktu mekar bunga jantan dan bunga betina sangat jarang ditemukan secara bersamaan. Bunga jantan memiliki waktu mekar yang berlangsung 4 – 5 hari sementara bunga betina hanya 38 – 48 jam, sehingga diperlukan polinator (Asmawati et al., 2019).

Polinator alami yang biasanya dilakukan untuk proses penyerbukan dibantu oleh peran angin dan serangga penyerbuk seperti Elaeidobius kamerunicus. Namun pada penelitian Lubis et al. (2014) penyerbukan yang dilakukan serangga Elaeidobius kamerunicus pada bunga kelapa sawit kurang maksimal dikarenakan faktor cuaca berupa curah hujan, serta musuh alami dan keterbatasan bunga jantan sebagai tempat perkembangbiakan dan penyerbukan serangga.

Umumnya, populasi bunga jantan lebih sedikit dibandingkan dengan bunga betina karena menurut Corley dan Tinker (2016) tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang memiliki karakteristik sex ratio yang tinggi sehingga pembentukan tandan buah menjadi tidak sempurna. Kondisi ini akan berdampak pada nilai fruit set yang rendah. Menurut Susanto et al. (2020) untuk mencapai nilai fruit set pertandan 75% maka ketersediaan bunga jantan dilapangan minimal 3 tandan bunga jantan / ha (Susanto et al., 2020).

Penyebab terjadinya sex ratio pada tanaman kelapa sawit ialah faktor genetik terdiri dari ketersediaan kandungan karbohidrat dalam jaringan dan ekspresi gen kemudian faktor lingkungan berupa ketersediaan air dan lama penyinaran matahari (Sitepu et al., 2021). Hal ini akan menyebabkan ketersediaan bunga jantan mengalami keterbatasan maka proses penyerbukan untuk pembentukan buah kelapa sawit akan terhambat.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyerbukan bunga kelapa sawit adalah dengan penyerbukan buatan (hand pollination). Polinasi buatan/hand polination adalah proses penyerbukan bunga kelapa sawit yang dilakukan dengan dengan bantuan tangan manusia untuk membantu proses penyerbukan. Kegiatan hand pollination dimulai dengan terlebih dahulu melakukan monitoring dan sensus ketersediaan bunga jantan, kemudian dilakukan kegiatan pemanenan polen pada bunga jantan anthesis, polen bunga jantan yang telah dipanen dikumpulkan dalam wadah dan di campur dengan media pembawa talcum powder, polen yang telah di campur dengan talcum powder dimasukan kedalam botol semprot yang selanjutnya botol semprot yang telah diisi dapat digunakan untuk disemprotkan pada bunga betina reseptif

Penelitian yang dilakukan oleh Sulung Research Station 2014 terkait hand pollination diperoleh hasil rata-rata fruit set per tandan mengalami peningkatan 40,6% setelah diaplikasikan pada bunga betina dibandingkan dengan polinasi alami. Dengan demikian, hand pollination dapat menjadi solusi untuk areal kelapa sawit yang mengalami kekurangan ketersediaan bunga jantan.